Rabu, 31 Agustus 2016

kritik sastra



ANALISISI CERPEN “ KADO PERKAWINAN “ DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK

 Cerpen Hamsad Rangkuti dalam cerpen “Kado Perkawinan” jelas ingin mengungkapkan potret minoritas kelompok sosial pinggiran. Dalam cerpen ini pengarang melukiskan suatu sketsa kehidupan salah satu golongan masyarakat yang diwakili oleh seorang gadis lulusan SMP dalam lingkungan keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai tukang cukur. Rabiah sangat   malu karena disindir, diejek, diperbincangkan diam-diam sebagai anak tukang cukur: “Anak tukang cukur itu mau menikah. Nasibnya baik. Dia mendapatkan jodoh seorang pegawai negeri. Siapa mengira, anak si tukang cukur, bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai kantoran”.  Kata-kat yang ia dengar dari masyarat tersebut sangat dibencinya. Sebagai kelompok sosial pinggiran seperti ini sangat tepat kalau Rabiah digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang memiliki obsesi dan pola pikir yang menganggap pegawai negeri sebagai pekerjaan bergengsi. Padahal untuk ukuran sebagian besar masyarakat sekarang, pekerjaan sebagai pegawai negeri bukan jabatan yang menjanjikan untuk orang yang berpikir materialistis Bagi masyarakat pinggiran, pegawai negeri memiliki nilai lebih dibandingkan dengan tukang cukur, tukang becak, atau buruh tani.
Persoalan mendasar yang diangkat Hamsad Rangkuti dalam cerpen ini adalah status sosial yang dikaitkan dengan suatu pekerjaan. Melalui eksplorasi tokoh Rabiah dengan kata-kata yang menyakitkan seperti gunting, sisir, pengetam rambut, dan pisau cukur yang selalu menghantuinya, ejekan yang selalu diterima, akhirnya Rabiah menikah dengan ‘pegawai negeri’ yang diimpikannya agar dapat menaikkan status sosialnya dalam masyarakat. Gambaran yang dilontarkan Hamsad dalam cerpen di atas merupakan gambaran problematis sosial. Ejekan tersebut lebih banyak merupakan tekanan psikologis yang dirasakan tokoh.
Dengan hadirnya kado perkawinan yang merupakan pemberian teman suaminya menjadi shock therapy yang dikemas  oleh Hamsad sebagai titik balik dari semua impian yang diharapkan oleh tokoh Rabiah dan sekaligus merupakan jawaban dari sikap pengarang terhadap masalah yang dilontarkannya. Dari sudut pemikiran dan kenyataan ini, cerpen Hamsad Rangkuti ini memberikan isyarat agar kita pandai menghargai arti pentingnya suatu pekerjaan. Kita tidak boleh memandang rendah terhadap suatu pekerjaan.
Melalui cerita yang disajikan, pengarang berusaha mengingatkan pembacanya agar jangan memandang rendah status sosial seseorang berdasarkan pekerjaan semata.  Suatu pekerjaan jangan dinilai dari kacamata orang lain. Semua pekerjaan mulia, asal dapat memberikan penghasilan yang halal. Pesan inilah yang dinasihatkan ibu Rabiah: “Kau malu anakku?” “Telingaku tebal menahan malu, Ibu. Mengapa ayah memilih pekerjaan tukang cukur? Apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ayah?”. “Semua pekerjaan itu mulia anakku.” Begitu si Ibu menasihati anak-anak mereka tentang makna dari sebuah pekerjaan bagi manusia. Kecuali barangkali ibu dari istri seorang maling.
Dari sisi yang lain, cerpen Hamsad ini merupakan protes sosial  terhadap perilaku masyarakat yang dilihat dan ditemuinya. Setiap orang hendaknya selalu menghargai segala sesuatu yang dilakukan meskipun terkadang sulit untuk diterima sebagai kenyataan. Janganlah selalu menilai seseorang secara kasat mata. Manusia harus dinilai dari keluhuran hati seseorang untuk berbuat. Tampak sekali protes sosial Hamsad Rangkuti cukup tajam dan menusuk di dalam cerpen ini. Kata-kata ikonis seperti sisir, gunting, pisau cukur, pengetam rambut dan tukang cukur yang disuarakan oleh Hamsad terasa sebagai pemaparan realistis, tajam, dan gamblang sehingga sangat mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat pembaca dan penikmat cerpen ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar