ANALISISI
CERPEN “ KADO PERKAWINAN “ DENGAN PENDEKATAN PRAGMATIK
Cerpen Hamsad Rangkuti dalam cerpen “Kado
Perkawinan” jelas ingin mengungkapkan potret minoritas kelompok sosial
pinggiran. Dalam cerpen ini pengarang melukiskan suatu sketsa kehidupan salah
satu golongan masyarakat yang diwakili oleh seorang gadis lulusan SMP dalam
lingkungan keluarga yang memiliki pekerjaan sebagai tukang cukur. Rabiah
sangat malu karena disindir, diejek, diperbincangkan
diam-diam sebagai anak tukang cukur: “Anak tukang cukur itu mau menikah.
Nasibnya baik. Dia mendapatkan jodoh seorang pegawai negeri. Siapa mengira,
anak si tukang cukur, bisa mendapatkan jodohnya seorang pegawai kantoran”. Kata-kat yang ia dengar dari masyarat
tersebut sangat dibencinya. Sebagai kelompok sosial pinggiran seperti ini
sangat tepat kalau Rabiah digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang
memiliki obsesi dan pola pikir yang menganggap pegawai negeri sebagai pekerjaan
bergengsi. Padahal untuk ukuran sebagian besar masyarakat sekarang, pekerjaan
sebagai pegawai negeri bukan jabatan yang menjanjikan untuk orang yang berpikir
materialistis Bagi masyarakat pinggiran, pegawai negeri memiliki nilai lebih
dibandingkan dengan tukang cukur, tukang becak, atau buruh tani.
Persoalan mendasar yang diangkat
Hamsad Rangkuti dalam cerpen ini adalah status sosial yang dikaitkan dengan
suatu pekerjaan. Melalui eksplorasi tokoh Rabiah dengan kata-kata yang
menyakitkan seperti gunting, sisir, pengetam rambut, dan pisau cukur
yang selalu menghantuinya, ejekan yang selalu diterima, akhirnya Rabiah menikah
dengan ‘pegawai negeri’ yang diimpikannya agar dapat menaikkan status sosialnya
dalam masyarakat. Gambaran yang dilontarkan Hamsad dalam cerpen di atas
merupakan gambaran problematis sosial. Ejekan tersebut lebih banyak merupakan
tekanan psikologis yang dirasakan tokoh.
Dengan hadirnya kado perkawinan yang
merupakan pemberian teman suaminya menjadi shock therapy yang dikemas oleh Hamsad sebagai titik balik dari semua
impian yang diharapkan oleh tokoh Rabiah dan sekaligus merupakan jawaban dari
sikap pengarang terhadap masalah yang dilontarkannya. Dari sudut pemikiran dan
kenyataan ini, cerpen Hamsad Rangkuti ini memberikan isyarat agar kita pandai
menghargai arti pentingnya suatu pekerjaan. Kita tidak boleh memandang rendah
terhadap suatu pekerjaan.
Melalui cerita yang disajikan,
pengarang berusaha mengingatkan pembacanya agar jangan memandang rendah status
sosial seseorang berdasarkan pekerjaan semata.
Suatu pekerjaan jangan dinilai dari kacamata orang lain. Semua pekerjaan
mulia, asal dapat memberikan penghasilan yang halal. Pesan inilah yang
dinasihatkan ibu Rabiah: “Kau malu anakku?” “Telingaku tebal menahan malu,
Ibu. Mengapa ayah memilih pekerjaan tukang cukur? Apa tidak ada pekerjaan lain
yang bisa dikerjakan ayah?”. “Semua pekerjaan itu mulia anakku.” Begitu si Ibu
menasihati anak-anak mereka tentang makna dari sebuah pekerjaan bagi manusia.
Kecuali barangkali ibu dari istri seorang maling.
Dari sisi yang lain, cerpen Hamsad
ini merupakan protes sosial terhadap
perilaku masyarakat yang dilihat dan ditemuinya. Setiap orang hendaknya selalu
menghargai segala sesuatu yang dilakukan meskipun terkadang sulit untuk
diterima sebagai kenyataan. Janganlah selalu menilai seseorang secara kasat
mata. Manusia harus dinilai dari keluhuran hati seseorang untuk berbuat. Tampak
sekali protes sosial Hamsad Rangkuti cukup tajam dan menusuk di dalam cerpen
ini. Kata-kata ikonis seperti sisir, gunting, pisau cukur, pengetam rambut
dan tukang cukur yang disuarakan oleh Hamsad terasa sebagai pemaparan
realistis, tajam, dan gamblang sehingga sangat mudah diterima dan dicerna oleh
masyarakat pembaca dan penikmat cerpen ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar